Mungil, Cita-Citaku Guru!
Kring....kring...kring.... Alarm jam berbunyi, tanda pukul 04.00
telah datang. Aku lalu bergegas merapikan tempat tidur dan mengambil air wudhu
lalu beribadah. Tak lupa setelah itu aku membantu ibu, karena bagiku anak yang
keren mau membantu ibu. Oh ya, perkenalkan namaku Kartika Bintari biasa
dipanggil Mungil karena tubuhku mungil. Tubuhku yang kecil membuat
teman-teman bermain memanggilku mungil. Saat ini aku kelas 5 SD dan bersekolah
di SD Al Hikmah Surabaya. Aku suka sekali memakai dua kuncir rambut sampai
teman-teman sering bilang kuncir rambutku seperti Tugu Monas di Jakarta.
Minion, panggilan lain dari teman-teman karena mukaku yang bulat. Kata teman-teman aku harus banyak makan biar
tidak mungil lagi. Ah, padahal makanku kan sudah banyak.
“Ibu kenapa Tika berbadan mungil, apa Tika tidak bisa besar,”
tanyaku kepada ibu sambil melihat senyum ibu. “Nak, Tuhan memberikan manusia
kelebihan masing-masing. Jadi Tika harus selalu berdoa dan belajar ya,” jawab
ibu sambil mengelus rambutku. Aku lalu melihat dengan raut muka sungguh-sungguh
dan bertanya. “Kenapa harus berdoa dan belajar Bu, kan Tika maunya jadi
besar?” balasku sambil membantu ibu membersihkan sayur. Ibu lagi-lagi tersenyum
dan mnempelkan tomat segar ke pipiku “Ah Ibu, kan dingin,” sambil
memasang muka cemberut.
“Anak ibu yang paling cantik jangan cemberut nanti jelek seperti
nenek sihir lho. Nak, berdoa adalah kunci agar cita-cita kita dapat
tercapai. Karena Tuhan akan mengabulkan usaha Tika jika disertai dosa,” balas
ibuk sambil memisahkan sayur segar. Aku terdiam sejenak dengan wortel di tangan
yang belum selesai aku bersihkan, “Lalu kenapa harus belajar Bu? Kalau berdoa
saja Tika bisa menggapai cita-cita?” Lagi-lagi ibu tersenyum dan kali ini
memegang kedua pundakku sambil menatapku “Putri ibu yang paling cantik, kenapa
Tika harus belajar? Sekarang ibu bertanya jika Tika tidak belajar bagaimana
nanti membagikan ilmu yang dimiliki? Semua harus belajar Nak agar tidak hanya
pintar tapi juga bisa berbagi il.....?” suara ibu berhenti. “Mu....., ilmu ya
Bu?” jawabku dengan tersenyum. “Betul sekali anak ibu yang paling cantik.
Sudah, sekarang Tika mandi dulu biar ibu memasak di dapur. Terima kasih putri
ibu yang paling mungil sudah membantu membersihkan sayur” jawab ibu sambil
mencubit pipiku dan menuju tempat memasak. “Ah ibu,” balasku dengan manyun. Aku
lantas bergegas mandi, karena hari ini adalah hari Senin. Hari di mana ada
pelajaran bahasa Indonesia yang aku sukai.
Selesai mandi serta makan, kemudian aku bergegas pamit ayah dan ibu.
Tentu tak lupa mencium tangan mereka. Aku berangkat dengan sepedaku warna merah
muda, warna favoritku. Sepanjang jalan aku bernyanyi lagu Selamat Pagi sambil
tersenyum kepada setiap orang yang aku jumpai. Aku selalu ingat pesan ayah
untuk memberikan kebaikan sekecil apapun, misalnya tersenyum. “Selamat pagi Pak Rian,” sapaku sambil
tersenyum kepada penjual koran langganan ayahku. “Selamat pagi Nak Tika,
semangat dan hati-hati di jalan ya,” balas Pak Rian sambil melambaikan tangan.
Ciiiiittttttt...ciiittttttt. Bunyi rem sepeda yang aku tekan. Aku
berhenti sejenak karena melihat seorang ibu sibuk mengambil kertas yang
terjatuh. “Ibu...ibu, Tika bantu yah” sambil mengambil kertas.
”Wah, terima kasih Nak Tika. Cantik sekali Tika hari ini. Nak Tika
kelas berapa?” tanya ibu tersebut. “Tika kelas 5 ibuk. Ibu mau ke mana kok
kertasnya jatuh,” jawabku sambil terus membantu mengambil kertas.
“Oh ibu mau mengajar di sekolah alam. Sekolah yang nantinya juga
mengenalkan alam bagi siswa-siswinya. Oh ya, nama ibu Tiwi. Salam kenal ya Nak Tika,”
sambil tersenyum kepadaku. Rasa penasaranku akhirnya muncul bergegas aku
bertanya “Kenapa ibu mau menjadi guru. Bukankah susah ya ibu kalau menjadi
guru. Bu Tiwi kembali tersenyum kemudian menjawab “Menjadi guru itu
menyenangkan Nak Tika. Kita akan tahu bagaimana lucunya dan semangatnya
siswa-siswi ketika belajar. Nak Tika juga bisa memberikan ilmu kepada sesama.
Ilmu itu bermanfaat ketika bisa dibagikan”.
Aku sejenak berhenti merapikan kertas, “Kalau ada murid yang nakal
Bu, bagaimana? Teman sekelas Tika ada yang nakal juga”. Ibu itu berdiri sambil
mengambil kertas yang kupegang dan mengusap rambutku “Nak Tika, tidak ada murid
yang nakal. Anak-anak seusia Nak Tika memang sering berekspresi. Nah, sebagai
guru kita harus mengarahkan ekspresi itu secara tepat. Nanti pasti akan ada
hasil yang baik” sahut Bu Tiwi dengan senyum khas seorang guru.
Aku mendengarkan dengan seksama sambil garuk-garuk kepala. “Kalau
begitu apakah Tika berbadan mungil ini bisa menjadi guru Bu? Tika selalu diejek
di sekolah,” sambungku dengan manyun. “Nak Tika Tuhan tidak pernah membedakan
umatNya. Tidak perlu khawatir Nak Tika. Asal dengan doa, usaha dan tidak putus
asa. Nak Tika bisa mencapai cita-cit,” jawab Bu Tiwi bijak. Perkataan ini sama
seperti ibuku di rumah dan sepertinya aku ingin menjadi guru.
“Terima kasih Bu Tiwi, Tika mau menjadi guru saja” balasku sambil
bergegas naik sepeda. “Semangat ya Nak Tika, tidak perlu merasa minder. Nak
Tika pasti bisa. Semangat” ucap Bu Tiwi sambil mengepalkan tangan ke atas.
Aku bergegas mengayuh sepeda ke sekolah. Hari ini adalah giliranku
maju ke depan kelas dan menceritakan cita-cita pada mata pelajaran Bahasa
Indonesia. Hari ini aku akan menceritakan cita-citaku sebagai seorang guru. Aku
memantapkan hati menjadi guru. Menjadi guru memang susah, tetapi memudahkan.
Menjadi guru susah karena harus bertemu berbagai macam siswa, tetapi juga
memudahkan karena membuat siswa mampu belajar dengan baik. Hari ini aku ingin
menjadi guru. Hari ini Tika ingin berbagi ilmu. Hari ini, Tika si Mungil
bercita-cita menjadi guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar