Minggu, 25 Februari 2018

Mungil



Mungil, Cita-Citaku Guru!

Kring....kring...kring.... Alarm jam berbunyi, tanda pukul 04.00 telah datang. Aku lalu bergegas merapikan tempat tidur dan mengambil air wudhu lalu beribadah. Tak lupa setelah itu aku membantu ibu, karena bagiku anak yang keren mau membantu ibu. Oh ya, perkenalkan namaku Kartika Bintari biasa dipanggil Mungil karena tubuhku mungil. Tubuhku yang kecil membuat teman-teman bermain memanggilku mungil. Saat ini aku kelas 5 SD dan bersekolah di SD Al Hikmah Surabaya. Aku suka sekali memakai dua kuncir rambut sampai teman-teman sering bilang kuncir rambutku seperti Tugu Monas di Jakarta. Minion, panggilan lain dari teman-teman karena mukaku yang bulat.  Kata teman-teman aku harus banyak makan biar tidak mungil lagi. Ah, padahal makanku kan sudah banyak.
“Ibu kenapa Tika berbadan mungil, apa Tika tidak bisa besar,” tanyaku kepada ibu sambil melihat senyum ibu. “Nak, Tuhan memberikan manusia kelebihan masing-masing. Jadi Tika harus selalu berdoa dan belajar ya,” jawab ibu sambil mengelus rambutku. Aku lalu melihat dengan raut muka sungguh-sungguh dan bertanya. “Kenapa harus berdoa dan belajar Bu, kan Tika maunya jadi besar?” balasku sambil membantu ibu membersihkan sayur. Ibu lagi-lagi tersenyum dan mnempelkan tomat segar ke pipiku “Ah Ibu, kan dingin,” sambil memasang muka cemberut.
“Anak ibu yang paling cantik jangan cemberut nanti jelek seperti nenek sihir lho. Nak, berdoa adalah kunci agar cita-cita kita dapat tercapai. Karena Tuhan akan mengabulkan usaha Tika jika disertai dosa,” balas ibuk sambil memisahkan sayur segar. Aku terdiam sejenak dengan wortel di tangan yang belum selesai aku bersihkan, “Lalu kenapa harus belajar Bu? Kalau berdoa saja Tika bisa menggapai cita-cita?” Lagi-lagi ibu tersenyum dan kali ini memegang kedua pundakku sambil menatapku “Putri ibu yang paling cantik, kenapa Tika harus belajar? Sekarang ibu bertanya jika Tika tidak belajar bagaimana nanti membagikan ilmu yang dimiliki? Semua harus belajar Nak agar tidak hanya pintar tapi juga bisa berbagi il.....?” suara ibu berhenti. “Mu....., ilmu ya Bu?” jawabku dengan tersenyum. “Betul sekali anak ibu yang paling cantik. Sudah, sekarang Tika mandi dulu biar ibu memasak di dapur. Terima kasih putri ibu yang paling mungil sudah membantu membersihkan sayur” jawab ibu sambil mencubit pipiku dan menuju tempat memasak. “Ah ibu,” balasku dengan manyun. Aku lantas bergegas mandi, karena hari ini adalah hari Senin. Hari di mana ada pelajaran bahasa Indonesia yang aku sukai.
Selesai mandi serta makan, kemudian aku bergegas pamit ayah dan ibu. Tentu tak lupa mencium tangan mereka. Aku berangkat dengan sepedaku warna merah muda, warna favoritku. Sepanjang jalan aku bernyanyi lagu Selamat Pagi sambil tersenyum kepada setiap orang yang aku jumpai. Aku selalu ingat pesan ayah untuk memberikan kebaikan sekecil apapun, misalnya tersenyum.  “Selamat pagi Pak Rian,” sapaku sambil tersenyum kepada penjual koran langganan ayahku. “Selamat pagi Nak Tika, semangat dan hati-hati di jalan ya,” balas Pak Rian sambil melambaikan tangan.
Ciiiiittttttt...ciiittttttt. Bunyi rem sepeda yang aku tekan. Aku berhenti sejenak karena melihat seorang ibu sibuk mengambil kertas yang terjatuh. “Ibu...ibu, Tika bantu yah” sambil mengambil kertas.
”Wah, terima kasih Nak Tika. Cantik sekali Tika hari ini. Nak Tika kelas berapa?” tanya ibu tersebut. “Tika kelas 5 ibuk. Ibu mau ke mana kok kertasnya jatuh,” jawabku sambil terus membantu mengambil kertas.
“Oh ibu mau mengajar di sekolah alam. Sekolah yang nantinya juga mengenalkan alam bagi siswa-siswinya. Oh ya, nama ibu Tiwi. Salam kenal ya Nak Tika,” sambil tersenyum kepadaku. Rasa penasaranku akhirnya muncul bergegas aku bertanya “Kenapa ibu mau menjadi guru. Bukankah susah ya ibu kalau menjadi guru. Bu Tiwi kembali tersenyum kemudian menjawab “Menjadi guru itu menyenangkan Nak Tika. Kita akan tahu bagaimana lucunya dan semangatnya siswa-siswi ketika belajar. Nak Tika juga bisa memberikan ilmu kepada sesama. Ilmu itu bermanfaat ketika bisa dibagikan”.
Aku sejenak berhenti merapikan kertas, “Kalau ada murid yang nakal Bu, bagaimana? Teman sekelas Tika ada yang nakal juga”. Ibu itu berdiri sambil mengambil kertas yang kupegang dan mengusap rambutku “Nak Tika, tidak ada murid yang nakal. Anak-anak seusia Nak Tika memang sering berekspresi. Nah, sebagai guru kita harus mengarahkan ekspresi itu secara tepat. Nanti pasti akan ada hasil yang baik” sahut Bu Tiwi dengan senyum khas seorang guru.
Aku mendengarkan dengan seksama sambil garuk-garuk kepala. “Kalau begitu apakah Tika berbadan mungil ini bisa menjadi guru Bu? Tika selalu diejek di sekolah,” sambungku dengan manyun. “Nak Tika Tuhan tidak pernah membedakan umatNya. Tidak perlu khawatir Nak Tika. Asal dengan doa, usaha dan tidak putus asa. Nak Tika bisa mencapai cita-cit,” jawab Bu Tiwi bijak. Perkataan ini sama seperti ibuku di rumah dan sepertinya aku ingin menjadi guru.
“Terima kasih Bu Tiwi, Tika mau menjadi guru saja” balasku sambil bergegas naik sepeda. “Semangat ya Nak Tika, tidak perlu merasa minder. Nak Tika pasti bisa. Semangat” ucap Bu Tiwi sambil mengepalkan tangan ke atas.
Aku bergegas mengayuh sepeda ke sekolah. Hari ini adalah giliranku maju ke depan kelas dan menceritakan cita-cita pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hari ini aku akan menceritakan cita-citaku sebagai seorang guru. Aku memantapkan hati menjadi guru. Menjadi guru memang susah, tetapi memudahkan. Menjadi guru susah karena harus bertemu berbagai macam siswa, tetapi juga memudahkan karena membuat siswa mampu belajar dengan baik. Hari ini aku ingin menjadi guru. Hari ini Tika ingin berbagi ilmu. Hari ini, Tika si Mungil bercita-cita menjadi guru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Belajar Bijak lewat Perspektif Systemic Functional Linguistics (SFL) mengenai Bahas a Setelah membaca tulisan saudara Aries Utomo, S...