Rabu, 10 Oktober 2018

Belajar Bijak lewat Perspektif Systemic Functional Linguistics (SFL) mengenai Bahasa

Setelah membaca tulisan saudara Aries Utomo, S.Pd., dalam http://www.merahbirunews.com/sfl-sebagai-sebuah-teori-pendekatan-bahasa-untuk-pengajaran-dan-penelitian-bahasa-8002.html saya terinspirasi untuk turut berbagi apa yang saya dapatkan mengenai SFL, meskipun hanya sekadarnya saja mengingat keterbatasan pengetahuan saya tentang bidang ini.
Systemic Functional Linguistics adalah ilmu mengenai bahasa (linguistik) yang juga umum disebut dengan Functional Grammar. Ilmu ini berbeda dari grammar-grammar terdahulu yang jamak menganggap bahasa sebagai serangkaian aturan-aturan bentuk. Ilmu ini memandang bahasa dengan perspektif yang lebih luas. Bahasa dipandang sebagai resources for making meaning (segala sesuatu yang memungkinkan kita untuk bisa berkomunikasi).
Grammar besutan M.A.K. Halliday dari Australia ini mengajarkan bahwa tiga metafungsi bahasa (metafunctions) yang meliputi ideational meanings (:bahasa menjadi alat penyampai ide), interpersonal meanings (bahasa sebagai alat penyambung hubungan antarmanusia)dan textual meanings (bahasa memiliki organisasi ide yang signifikan, serta memiliki medium lisan dan tulisan untuk penyampaian pesan).
Dalam ideational meanings, bahasa berperan sebagai penyampai ide (yaitu, apa inti yang seseorang bicarakan, diskusikan, usulkan, tanyakan, dan lain-lain). Jadi, dalam metafungsi yang pertama ini, bahasa yang kita gunakan sehari-hari tentu memiliki ide atau pokok bahasan. Di dalamnya, lebih spesifik kita bisa meninjau pilihan kata yang digunakan atau fitur bahasa lainnya.
Metafungsi yang kedua adalah interpersonal meanings. Dari istilahnya saja kita mungkin boleh mengira-ngira, interpersonal berarti hubungan antarindividu, antarmanusia. Dan, perkiraan Anda benar. Dalam metafungsi ini, fokus utama yang dibahas adalah fungsi bahasa sebagai alat untuk menjembatani hubungan antarmanusia. Kita dapat menganalisis seberapa dekat hubungan seseorang dengan lawan bicaranya hanya dengan menganalisis bahasa yang dipakai dengan menggunakan ‘alat’ ini. Alhasil, kita tidak dapat men-judgebahwa ungkapan ‘gila kau!’, misalnya, sebagai ungkapan yang sarkastik atau kasar jika ungkapan tersebut diucapkan oleh sahabat dekat yang sedang bercanda. Maka, dalam metafungsi ini, participants of the discourse, biasa disebut dengan tenor, atau orang-orang yang terlibat dalam penggunaan bahasa sangat berpengaruh terhadap jalannya komunikasi. Kita dapat melihat bahwa bahasa bukan lagi melulu soal pilihan kata dan aturan strukturnya, tapi juga mengenai siapa penggunanya.
Metafungsi yang ketiga adalah textual meanings (makna tekstual), mengacu pada bagaimana pesan disampaikan. Hal ini dapat dilihat dari organisasi atau susunan dari sebuah informasi yanng disampaikan, dan apakah informasi itu disampaikan dalam medium lisan atau tulisan. Sepanjang yang saya baru tahu, cara kita meletakkan kata—apakah kita menempatkannya di awal atau di akhir—sangatlah berpengaruh. Misalnya, kita mengungkapkan ‘kemarin dia melamarku’. Ungkapan tersebut akan memiliki sense yang berbeda apabila kita menyusunnya ‘dia melamarku kemarin’. Dalam analisis textual meanings, informasi yang pokok disebut dengan theme(fokus pembicaraan). Sehingga, dalam ungkapan yang pertama ‘kemarin dia melamarku’, informasi yang ditekankan oleh pembicara adalah ‘kemarin’, waktu ketika aktor ‘dia’ melakukan tindakan ‘melamar’ terhadap ‘ku’. Makna atau sense yang terkandung akan jadi berbeda jika diungkapkan ‘dia melamarku kemarin’. Dalam ungkapan ini, si penutur hendak menekankan bahwa si aktor ‘dia’ melakukan tindakan ‘melamar’ terhadap ‘ku’ (si penutur) di waktu yang spesifik ‘kemarin’.
Aspek kedua dalam metafungsi ini adalah medium yang digunakan. Medium yang bisa digunakan seseorang untuk menulis bisa dalam bentuk lisan atau pun tulisan. Bentuk lisan dan tulisan sangat berpengaruh sekali terhadap fitur bahasa yang dipakai. Bahasa lisan cenderung lebih informal, tidak menganut tata bahasa yang baku, dan mengandung fitur-fitur tertentu yang tidak dimiliki oleh bahasa tulis seperti ungkapan, ‘mmmm...,’ ‘eh’, ‘oh’, dan lain sebagainya. Di sisi lain, bahasa tulis jika dibawakan dalam kehidupan sehari-hari, akan membuatnya formal, dan menurut hemat saya, mengambil jarak dari lawan bicara. Tentu saja fitur bahasa tulis tetap digunakan dalam konteks-konteks tertentu seperti dalam presentasi ilmiah dan sebagainya.
Dari pembahasa di atas, kita boleh menyimpulkan bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan gagasan (resources for making meaning). Kedua, bahasa memiliki tiga metafungsi, antara lain ideational meanings yang berfokus pada ide atau gagasan pokok komunikasi, interpersonal meanings yang berfokus pada hubungan antarpengguna bahasa (participants of discourse), dan textual meanings yang berfokus pada medium apa dan organisasi yang seperti apa bahasa itu digunakan. Pada akhirnya, kita perlu menelaah penggunaan bahasa secara komprehensif dan mendalam dalam kehidupan sehari-hari. Informasi yang kita dapatkan yang pastinya disampaikan dengan menggunakan bahasa tidak lah mudah kita telan mentah-mentah tanpa mencernanya. Systemic Functional Linguistics dengan metafunction-nya telah mengajarkan pada kita bahwa ada banyak aspek bahasa yang saling memengaruhi jalannya komunikasi, yang pada akhirnya akan menuntun kita pada penafsiran-penafsiran yang berbeda satu sama lain. Maka, jika kita kaitkan dengan kehidupan bersosial, bisa ditarik pelajaran bahwa tidak sepatutnya kita bersikap judgmental terhadap suatu fenomena penggunaan bahasa, mengingat banyaknya aspek untuk dipertimbangkan. Tidak lah bijak bagi kita untuk menghakimi orang lain hanya dari satu sudut pandang yang terlalu sempit.
(Sumber: Kompasiana)

Belajar Bijak lewat Perspektif Systemic Functional Linguistics (SFL) mengenai Bahas a Setelah membaca tulisan saudara Aries Utomo, S...